Academia.eduAcademia.edu
PENDIDIKAN SAINS BERBASIS STEM: KONSEP, PENGEMBANGAN, DAN PERANAN RISET PASCASARJANA Keynote Seminar Nasional Pendidikan IPA dan PKLH Program Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor, 22 Agustus 2015 Dr. Harry Firman, M.Pd Universitas Pendidikan Indonesia Email: harry.firman@hotmail.com Abstrak Makalah ini mengupas pendidikan STEM (sains, teknologi, enjiniring, dan matematika) sebagai integrasi dari keempat disiplin tersebut, serta wujud implementasinya dalam bentuk pembelajaran sains berbasis STEM. Makalah secara rinci mengungkap konsep dan tujuan pendidikan STEM, pola integrasi STEM, kompatibilitas pendidikan STEM dengan Kurikulum 2013, fitur-fitur pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM yang membedakannya dari pembelajaran dan penilaian konvensional. Tahap pengembangan pendidikan STEM di Indonesia membuka peluang riset pendidikan pada tingkat pascasarjana, khususnya pengembangan model inovatif unit-unit pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM dan serta pengujian efektivitasnya melalui riset ilmiah berbasis kelas. Pendahuluan STEM adalah akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics. Kata STEM diluncurkan oleh National Science Foundation AS pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema gerakan reformasi pendidikan dalam keempat bidang disiplin tersebut untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek STEM, serta meningkatkan daya saing global AS dalam inovasi iptek (Hanover Research, 2011). Gerakan reformasi pendidikan STEM ini didorong oleh laporan-laporan studi yang menunjukkan terjadi kekurangan kandidat untuk mengisi lapangan kerja dalam bidang-bidang STEM, tingkat iliterasi yang signifikan dalam masyarakat tentang isu-isu terkait STEM, serta posisi capaian siswa sekolah menengah AS dalam TIMSS dan PISA (Roberts, 2012). Dewasa ini komitmen AS terhadap gerakan pendidikan STEM diwujudkan dalam bentuk dukungan anggaran dari pemerintah, dukungan kepakaran dari banyak perguruan tinggi, serta dukungan teknis dari dunia industri, bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM. Sejauh ini gerakan pendidikan STEM telah bergema di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, yang memandang pendidikan STEM sebagai jalan keluar bagi masalah kualitas SDM dan daya saing masing-masing negara. Oleh sebab itu R & D dalam pendidikan STEM menjadi tema yang semakin mendominasi wacana dalam konferensi dan publikasi ilmiah internasional dalam bidang pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan STEM telah mulai muncul di kalangan pakar pendidikan di Indonesia, sehingga banyak kelompok studi di perguruan tinggi melakukan penelitian dan pengembangan pendidikan STEM. Tesis dan disertasi dalam bingkai pendidikan STEM pun kini telah mulai bermunculan. Paparan selanjutnya dalam makalah ini mengetengahkan konsep dan pengembangan pembelajaran dengan framework pendidikan STEM, serta peluang penelitian dan pengembangan dalam tema pendidikan STEM dalam konteks Indonesia. Konsep Pendidikan STEM Sebagai komponen dari STEM, sains adalah kajian tentang fenomena alam yang melibatkan observasi dan pengukuran, sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif alam yang selalu berubah. Terdapat beberapa domain utama dari sains pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yakni fisika, biologi, kimia, serta ilmu pengetahuan kebumian dan antariksa. Teknologi adalah tentang inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam agar memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga membuat kehidupan lebih baik dan lebih aman. Teknologi-teknologi membuat manusia dapat melakukan perjalanan secara cepat, berkomunikasi langsung dengan orang di tempat yang berjauhan, mendapati makanan yang sehat, serta alat-alat keselamatan. Enjiniring (engineering) adalah pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh dan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial, serta praktis untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin, peralatan, sistem, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia secara ekonomis dan ramah lingkungan. Selanjutnya, matematika adalah ilmu tentang pola-pola dan hubungan-hubungan, dan menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan enjiniring. Pendidikan STEM tidak bermakna hanya penguatan praksis pendidikan dalam bidang-bidang STEM secara terpisah, melainkan mengembangkan pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan sains, teknonogi, enjiniring, dan matematika, dengan memfokuskan proses pendidikan pada pemecahan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan profesi (National STEM Education Center, 2014). Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan STEM bertujuan mengembangkan peserta didik yang melek STEM (Bybee, 2013:5), yang mempunyai: pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengidentifikasi pertanyaan dan masalah dalam situasi kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain, serta menarik kesimpulan berdasar bukti mengenai isu-isu terkait STEM; memahami karakteristik fitur-fitur disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan, penyelidikan, serta desain yang digagas manusia; kesadaran bagaimana disiplin-disiplin STEM membentuk lingkungan material, intelektual dan kultural, mau terlibat dalam kajian isu-isu terkait STEM (misalnya efisiensi energi, kualitas lingkungan, keterbatasan sumberdaya alam) sebagai warga negara yang konstruktif, peduli, serta reflektif dengan menggunakan gagasan-gagasan sains, teknologi, enjiniring dan matematika. Pendidikan STEM memberikan peluang kepada guru untuk memperlihatkan kepada peserta didik betapa konsep, prinsip, dan teknik dari sains, teknologi, enjiniring, dan matematika digunakan secara terintegrasi dalam pengembangan produk, proses, dan sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya, Reeve (2013) mengadopsi definisi pendidikan STEM sebagai pendekatan interdisiplin pada pembelajaran, yang di dalamnya peserta didik menggunakan sains, teknologi, enjiniring, dan matematika dalam konteks nyata yang mengkoneksikan antara sekolah, dunia kerja, dan dunia global, sehingga mengembangkan literasi STEM yang memampukan peserta didik bersaing dalam era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan. Urgensi Pendidikan STEM di Indonesia serta Kompatibilitasnya dengan Kurikulum 2013 Dewasa ini Pendidikan STEM diadopsi oleh banyak negara sebagai cetak-biru inovasi pendidikan pendidikan, sehingga muncul sebagai gerakan global untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di Abad ke-21. Biro Statistika Tenaga Kerja AS pada tahun 2011 menguraikan bahwa di lingkup global pada satu dekade mendatang struktur lapangan pekerjaan STEM akan meningkat sebesar 17%, sedangkan lapangan pekerjaan non-STEM hanya meningkat 10 % (Kompas 12 Juli 2015). Dalam menghadapi era persaingan global, Indonesia pun perlu menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas dan mencukupi secara kuantitas. Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar Kompas (Juli 2015) Indonesia mengalami kendala kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDM. Merujuk data Badan Pusat Statistik 2010, sumber daya manusia Indonesia masih didominasi tenaga kera kurang terampil (sebanyak 88 juta), dan diprediksi 2020 akan ada 50% kekurangan tenaga kerja untuk mengisi lowongan jabatan di struktur lapangan kerja. Namun, jalan untuk mengatasi persoalan ini bukanlah perkara mudah, sebab tanpa upaya mengembangkan kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi, komunikasi, kreativitas, pemecahan masalah), dan nilai-nilai prasyarat memasuki profesi STEM pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sukar untuk mengharapkan generasi muda yang bermotivasi dan siap menekuni bidang-bidang STEM. Kurikulum 2013 yang baru saja diluncurkan tidak akan dapat mengatasi permasalahan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia Indonesia yang berdaya siang global, jika tidak secara sistematik menyiapkan mereka mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipersyaratkan dunia kerja Abad ke-21, sebagaimana diwujudkan dalam Pendidikan STEM. Untuk mengatasi hal tersebut Pendidikan dengan pendekatan STEM bisa menjadi kunci bagi menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu bersaing di kancah global. Oleh sebab itu, Pendidikan STEM perlu menjadi kerangka-rujukan bagi proses pendidikan di Indonesia ke depan. Sebagaimana dinyatakan dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dinyatakan pula dalam dokumen tersebut bahwa salah satu pola pikir baru yang digunakan sebagai dasar pengembangan Kurikulum 2013 adalah pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidiscipline). Rumusan tujuan dan pola pikir dalam pengembangan Kurikulum 2013 yang dikemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa Kurikulum 2013 memberikan ruang bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, yang mengutamakan integrasi S, T, E dan M secara multi- dan trans-disiplin serta pengembangan pemikiran kritis, kreativitas, inovasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Pembelajaran Sains Berbasis Pendidikan STEM Salah satu karakteristik Pendidikan STEM adalah mengintegrasikan sains, teknonogi, enjiniring, dan matematika dalam memecahkan masalah nyata. Namun demikian, terdapat beragam cara digunakan dalam praktik untuk mengintegrasikan disiplin-disiplin STEM, dan pola dan derajad keterpaduannya bergantung pada banyak faktor (Roberts, 2012). Jika mata pelajaran sains, teknologi, enjiniring, dan matematika diajarkan sebagai empat mata pelajaran yang terpisah satu sama lain dan tidak terintegrasi (disebut sebagai “silo”), keadaan ini lebih tepat digambarkan sebagai S-T-E-M daripada STEM (Dugger, n.d). Cara kedua adalah mengajarkan masing-masing disiplin STEM dengan lebih berfokus pada satu atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara ketiga adalah mengintegrasikan satu ke dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten enjiniring diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sains, teknologi, dan matematika. Cara yang lebih komprehensif adalah melebur keempat-empat disiplin STEM dan mengajarkannya sebagai mata pelajaran terintegrasi, misalnya konten teknologi, enjiniring dan matematika dalam sains, sehingga guru sains mengintegrasikan T, E, dan M ke dalam S. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah umum di banyak negara, termasuk Indonesia, hanya mata-mata pelajaran sains dan matematika yang menjadi bagian dari kurikulum konvensional, sementara mata pelajaran teknologi dan enjiniring hanya bagian minor atau bahkan tidak ada dalam kurikulum. Oleh sebab itu Pendidikan STEM lebih terpumpu pada sains dan matematika. Dalam kaitan ini Bybee (2013) mengkonseptualisasi suatu kontinum keterpaduan STEM yang terdiri atas sembilan pola keterpaduan, mulai dari disiplin S-T-E-M sebagai “silo” (mata pelajaran berdiri sendiri) hingga STEM sebagai mata pelajaran transdisiplin. Pengintegrasian yang lebih mendalam ke dalam bentuk mata pelajaran transdisiplin memerlukan restrukturisasi kurikulum secara menyeluruh, sehingga relatif sukar dilaksanakan dalam konteks struktur kurikulum konvensional di Indonesia. Salah satu pola intergasi yang mungkin dilaksanakan tanpa merestrukturisasi kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia adalah menginkorporasikan konten enjiniring, teknologi, dan matematika dalam pembelajaran sains berbasis STEM, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1. Gambar 1. Pendidikan Sains Berbasis STEM Pola integrasi secara penuh relatif lebih mudah dilakukan pada jenjang sekolah dasar, ketika peserta didik diajar oleh seorang guru kelas. Sementara itu, bentuk “embedded STEM” lebih tepat dilakukan pada jenjang sekolah menengah. Pendidikan STEM terwujud dalam situasi tertentu ketika pembelajaran sains atau matematika melibatkan akitivitas pemecahan masalah otentik dalam konteks sosial, kultural, dan fungsional (Roberts, 2012). Sains dan matematika dipandang tepat untuk menjadi kendaraan untuk membawa Pendidikan STEM, sebab kedua mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran pokok dalam pendidikan dasar dan menengah, dan menjadi landasan bagi peserta didik untuk memasuki karir dalam disiplin-disiplin STEM, yang dipandang fundamental bagi inovasi teknologi dan produktivitas ekonomi. Fitur Pembelajaran Sains Berbasis Pendidikan STEM Dalam kaitan dengan implementasi Pendidikan STEM, Bybee (2013) menyatakan bahwa dalam pembelajaran STEM, peserta didik pada jenjang pendidikan dasar perlu lebih didorong untuk mengkoneksikan sains dan enjiniring. Lebih daripada itu, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi perlu ditantang untuk melakukan tugas-tugas rekayasa otentik sebagai komplemen dari pembelajaran sains melalui kegiatan-kegiatan proyek yang mengintegrasikan sains, enjiniring, teknologi, dan matematika. Pendidikan sains berbasis STEM menuntut pergeseran moda proses pembelajaran dari moda konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) yang mengandalkan transfer pengetahuan ke arah moda pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered) yang mengandalkan keaktifan, hands-on, dan kolaborasi peserta didik. Pembelajaran sains berbasis STEM perlu dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), yang di dalamnya peserta didik ditantang secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk memecahkan masalah nyata, yang melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara kolaboratif. Pembelajaran sains berbasis STEM dalam kelas didesain untuk memberi peluang bagi peserta didik mengaplikasikan pengetahuan akademik dalam dunia nyata. Sesuai dengan krakteristik implementasi pendidikan STEM, penilaian hasil belajar dalam konteks pembelajaran sains berbasis STEM perlu lebih menitikberatkan asesmen otentik, khususnya asesmen kinerja (performance assessment). Pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM menuntut pergeseran metode penilaian, dari penilaian konvensional yang bertumpu pada ujian dengan tes kea rah penilaian otentik yang bertumpu pada penilaian kinerja. Penilaian kinerja dengan menggunakan rubrik yang terancang baik perlu dilakukan guru, teman, serta peserta didik sendiri terhadap kinerja peserta didik selama aktivitas belajar serta produk hasil kerja kolaboratif untuk mengungkap ketercapaian standar hasil pembelajaran. Pengalaman belajar sains berbasis pendidikan STEM diharapkan sekaligus dapat mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap konten sains, kemampuan inovasi dan pemecahan masalah, soft skills (antara lain komunikasi, kerjasama, kepemimpinan). Dampak lebih lanjut dari pembelajaran sains berbais STEM adalah meningkatkannya minat dan motivasi peserta didik untuk melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang profesi iptek, sebagaimana dibutuhkan negara saat ini dan di masa datang. Peranan Penelitian Tingkat Pascasarjana dalam Pendidikan STEM Pengembangan literasi STEM bukan perkara mudah. Paling sedikit diperlukan satu dekade untuk mengembangkan pendidikan STEM di suatu Negara (Bybee, 2010). Dua tahun pertama diperlukan untuk menginisiasi reformasi pendidikan STEM dengan tujuan mendesain, mengembangkan, dan mengimplementasikan model-model unit pembelajaran STEM. Enam tahun selanjutnya untuk memasukan pendidikan STEM ke dalam kurikulum. Dua tahun berikutnya diperlukan untuk memberlanjutkan reformasi STEM, yakni membangun kapasitas sekolah dalam melakukan peningkatan berkelanjutan program pendidikan STEM. Fase awal pengembangan pendidikan STEM menuntut partisipasi sivitas akademika perguruan tinggi, khususnya untuk mendesain model-model unit pembelajaran berbasis STEM yang efektif implementasinya dalam setting sekolah atau luar sekolah. Dalam kaitan ini, tesis dan disertasi pascasarjana dalam bidang pendidikan sains diharapkan berkontribusi pada pengembangan model-model unit pembelajaran sains berbasis STEM dan peralatan pembelajaran (teaching materials) yang teruji efektivitasnya berdasarkan riset ilmiah berbasis kelas (classroom-based scientific research). Riset-riset tersebut meliputi dua tahap penting, yakni tahap pengembangan dan tahap pengujian lapangan. Tahap pengembangan mencakup analisis konten materi pokok dalam kurikulum sains yang berlaku, kemudian menggagas inovasi pembelajaran konten tersebut yang mengintegrasikan teknologi (T), enjiniring (E), dan matematika (M) di dalamnya, sehingga prospektif untuk mewujudkan literasi STEM generasi muda. Tahap pengujian melibatkan desain-desain eksperimentasi untuk menguji keefektifan unit-unit pembelajaran sains (termasuk alat dan bahan pembelajaran) berbasis STEM yang digagas dalam berbagai setting sekolah. Kontribusi perguruan tinggi pada tahap selanjutnya dapat berupa keterlibatannya dalam advokasi pentingnya integrasi pendidikan STEM ke dalam kebijakan kurikulum nasional, serta pengembangan kompetensi guru untuk menjamin efektivitas implementasikan pendidikan STEM sesuai kurikulum yang berlaku. Dukungan riset ilmiah perguruan tinggi dalam fase-fase tersebut diperlukan untuk menginvestigasi efektivitas implementasi pendidikan STEM pada skala lebih makro, serta terlibat dalam pengembangan kapasitas sekolah untuk mengelola pendidikan STEM. Kesimpulan Pendidikan STEM merupakan gerakan global dalam praktik pendidikan yang mengintegrasikan dengan berbagai pola integrasi untuk mengembangkan kualitas SDM yang sesuai dengan tututan keterampilan Abad ke-21. Pembelajaran sains berbasis STEM sebagai salah satu wujud dari pendidikan STEM kompatibel dengan sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia masa kini. Pembelajaran sains berbasis STEM adalah pembelajaran materi pokok sains yang mengintegrasikan di dalamnya perancangan desain-desain sistem dan penggunaan teknologi untuk pemecahan masalah nyata. Implementasi pembelajaran sains berbasis STEM menuntut pergeseran moda pembelajaran dari pembelajaran berpusat guru ke pembelajaran berpusat peserta didik, dari pembelajaran individual ke arah pembelajaan kolaboratif dan menekankan aplikasi pengetahahuan sains, kreativitas dan pemecahan masalah. Implementasi pembelajaran sains berbasis STEM juga menuntut pergeseran metode penilaian, dari penilaian konvensional bertumpu pada ujian ke arah penilaian otentik yang menekankan penilaian kinerja dan produk kerja. Riset-riset mahasiswa pascasarjana didorong untuk berkontribusi pada pengembangan pendidikan STEM, melalui mengembangan unit-unit pembelajaran beserta alat dan bahan pembelajaran, yang terbukti keefektifannya melalui riset ilmiah berbasis kelas. Rujukan Bybee, R. W. (2010). Advancing STEM education: A 2020 vision. Technology and Engineering Teacher, 70(1), 30-35. Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and opportunity. Arlington, VI: National Science Teachers Association (NSTA) Press. Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July 20, 2015, from http://www.iteea.org/Resources/PressRoom/AustraliaPaper.pdf. Hanover Research (2011). K-12 STEM education overview. Inovasi pendidikan tingkatkan daya saing (2015, July 15). Kompas, p.12. Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta: Kemdikbud. National STEM Education Center (2014). STEM education network manual. Bangkok: The Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology. Reeve, E. M. (2013) Implementing science, technology, mathematics and engineering (STEM) education in Thailand and in ASEAN. Bangkok: Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology (IPST). Roberts, A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering Teacher, 74(8), 1-5. 9